|
Add caption |
Akhir-akhir
ini kebebasan menjadi lafaz sakti yang senantiasa kita dengar, sekabur
apapun maknanya. Istilah kebebasan dan kemerdekaan umumnya dipahami
sebagai padanan kata freedom dan liberty. Artinya keadaan dimana
seseorang bebas dari dan untuk berbuat atau melakukan sesuatu. Yang
disebut pertama adalah kebebasan negatif, dimana segala bentuk
pengaturan dan pembatasan berupa suruhan, larangan ataupun ajaran,
dianggap berlawanan dengan kebebasan; manakala yang kedua (‘bebas
untuk’) dinamakan kebebasan positif, dimana seseorang boleh menentukan
sendiri apa yang ia kerjakan. Demikian menurut Isaiah Berlin dalam Two
Concepts of Liberty (1958).
Bagi seorang Muslim, kebebasan
mengandung tiga makna sekaligus. Pertama, kebebasan identik dengan
‘fitrah’ –yaitu tabiat dan kodrat asal manusia sebelum diubah, dicemari,
dan dirusak oleh sistem kehidupan disekelilingnya. Seperti kata Nabi
saw: ‘kullu mawludin yuladu ‘ala l-fitrah’. Setiap orang terlahir
sebagai mahluk dan hamba Allah yang suci bersih dari noda kufur, syirik
dan sebagainya. Namun orang-orang disekelilingnya kemudian mengubah
statusnya tersebut menjadi ingkar dan angkuh kepada Allah.
Maka
orang yang bebas ialah orang yang hidup selaras dengan fitrahnya, karena
pada dasarnya ruh setiap manusia telah bersaksi bahwa Allah itu
Tuhannya. Sebaliknya, orang yang menyalahi fitrah dirinya sebagai abdi
Allah sesungguhnya tidak bebas, karena ia hidup dalam penjara nafsu dan
belenggu syaitan.
Ahli tafsir abad keempat Hijriah, ar-Raghib
al-Ishfahani, dalam kitabnya menerangkan dua arti ‘bebas’ (hurr):
pertama, bebas dari ikatan hukum; kedua, bebas dari sifat-sifat buruk
seperti rakus harta sehingga diperbudak olehnya. Pengertian kedua inilah
yang disinyalir Nabi saw dalam sebuah hadis sahih: ‘Celakalah si hamba
uang’ (ta‘isa ‘abdu d-dinar’) (Lihat: Mufradat Alfazh al-Qur’an, hlm.
224).
Makna kedua dari kebebasan adalah daya kemampuan (istitha‘ah)
dan kehendak (masyi’ah) atau keinginan (iradah) yang Allah berikan
kepada kita untuk memilih jalan hidup masing-masing. Apakah jalan yang
lurus (as-shirath al-mustaqim) ataukah jalan yang lekuk. Apakah jalan
yang terjal mendaki ataukah jalan yang mulus menurun. Apakah jalan para
nabi dan orang-orang sholeh, ataukah jalan syaitan dan orang-orang
sesat. ‘Siapa yang mau beriman, dipersilakan. Siapa yang mau ingkar, pun
dipersilakan’ (fa-man sya’a fal-yu’min, wa man sya’a fal-yakfur),
firman Allah dalam al-Qur’an (18:29).
Kebebasan disini melambangkan
kehendak, kemauan dan keinginan diri sendiri. Bebasnya manusia berarti
terpulang kepadanya mau senang di dunia ataukah di akhirat. Firman
Allah: ”Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), Maka kami
segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang
kami kehendaki dan kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan
memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang
menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan
sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS al Isra’:18-19)
”Barang
siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah
keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di
dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak
ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (QS asy Syura:20). Terserah
padanya apakah mau tunduk atau durhaka kepada Allah. Apakah mau
menghamba kepada sang Khaliq atau mengabdi kepada makhluk. Sudah barang
tentu, kebebasan ini bukan tanpa konsekuensi dan pertanggungjawaban.
Dan
benarlah firman Allah bahwa tidak ada paksaan dalam agama – ‘la ikraha
fi d-din’ (2:256). Setiap manusia dijamin kebebasannya untuk menyerah
ataupun membangkang kepada Allah, berislam ataupun kafir. Mereka yang
berislam dengan sukarela (thaw‘an) lebih unggul dari mereka yang
berislam karena terpaksa (karhan), apatah lagi dibandingkan dengan
mereka yang kafir dengan sukarela.
Ketiga, kebebasan dalam Islam
berarti ‘memilih yang baik’ (ikhtiyar). Sebagaimana dijelaskan oleh
Profesor Naquib al-Attas, sesuai dengan akar katanya, ikhtiar
menghendaki pilihan yang tepat dan baik akibatnya (Lihat: Prolegomena to
the Metaphysics of Islam, hlm. 33-4). Oleh karena itu, orang yang
memilih keburukan, kejahatan, dan kekafiran itu sesungguhnya telah
menyalahgunakan kebebasannya. Sebab, pilihannya bukan sesuatu yang baik
(khayr). Disini kita dapat mengerti mengapa dalam dunia beradab manusia
tidak dibiarkan bebas untuk membunuh manusia lain.
Jadi, dalam
tataran praktis, kebebasan sejati memantulkan ilmu dan adab, manakala
kebebasan palsu mencerminkan kebodohan dan kebiadaban. Kebebasan
seyogianya dipandu ilmu dan adab supaya tidak merusak tatanan kehidupan.
Supaya membawa kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Dalam kerangka
inilah seorang Muslim memahami firman Allah: ”Barangsiapa yang
mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan
barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya
sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya”
(QS. Fushshilat:46). Maka janganlah kebebasan itu menyebabkan
kebablasan. (***)
4 komentar:
OALAH TO MIMI NDAK NULISKI RASAH OKEH2 OPO KOE GNAH ARTINE
enten masalah kangge njenengan???
WS ngantok mie
MUMUMEAT MI
Posting Komentar